Pada umumnya kata approach diartikan pendekatan. Dalam
dunia pengajaran lebih tepat diartikan a
way of beginning something. Jadi kalau diterjemahkan ialah “cara memulai
sesuatu”. Lebih luas lagi approach
adalah asumsi atau prinsip hakikat pengajaran bahasa dan proses belajar bahasa.
Pendekatan terpadu dalam pembelajaran bahasa
dilandasi pandangan bahasa holistik (whole
language) yang memperlakukan bahasa sebagai sesuatu yang bulat dan utuh.
Pada hakikatnya whole language
merupakan falsafah pandangan atau keyakinan tentang hakikat belajar dan
bagaimana anak belajar secara optimal (Sabarti Akhadiah. 1991:4).
Weaver (1992) menyatakan bahwa whole language pada dasarnya merupakan
falsafah pandangan atau keyakinan tentang hakikat belajar dan bagaimana anak
dapat belajar secara optimal. Whole
language memang bukan pendekatan perse namun dalam masyarakat orang sering
menggunakan ungkapan pendekatan whole
language. Ungkapan tersebut dimaksudkan sebagai lingkungan belajar mengajar
yang mencakup kegiatan-kegiatan yang dengan jelas mencerminkan pandangan whole language. Sistem landasan
keterpaduan dalam pembelajaran bahasa menyatakan bahwa belajar bahasa akan
lebih mudah terjadi jika bahasa itu disajikan secara holistik nyata, relevan,
bermakna, serta fungsional, jika bahasa itu disajikan dalam konteks pembicaraan
dan dipilih siswa untuk digunakan.
Whole language mengandung
konsepsi bahwa bahasa merupakan gejala plural yang mempunyai keutuhan. Sebab
itu, sebagai bahan pembelajaran, bahasa tidak dapat disikapi sebagai gejala
yang tersegmentasikan secara artifisial melainkan disikapi sebagaimana gejala
penggunaannya dalam berbagai peristiwa komunikasi. Sebagai wawasan yang ada
dalam konteks pengajaran bahasa, penerapan prinsip whole
language berimplikasi pada
penyikapan bahasa sebagai bahan pembelajaran, bentuk pembelajaran, assessment,
dan penilaian. Dalam artian luas, penerapan prinsip tersebut berimplikasi dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian program (Aminuddin. 2007:4).
Sedangakan Imam Syafi'ie (2007:12) berpendapat bahwa pendekatan integratif dalam
pengajaran bahasa Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Kurikulum Bahasa
Indonesia 1994 bersumber dari whole language, yaitu suatu pandangan kebenaran tentang hakikat
proses belajar dan bagaimana mendorong proses tersebut agar dapat berlangsung
secara efektif dan efisien sehingga dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan
dalam proses belajar mengajar di sekolah secara optimal. Dalam pengertian
seperti ini whole language dapat
dipandang sebagai pendekatan dalam proses belajar
mengajar bahasa. Sebagai suatu pendekatan, whole language
berdasarkan sejumlah asusmsi dari psikolinguistik, sosiolinguistik, psikologi
perkembangan anak, teori belajar bahasa, dan pedagogi. Dari pendekatan
whole language
beserta asumsi-asumsinya kemudian berkembang konsep-konsep pengajaran bahasa
secara terpadu sesuai kurikulum, bahasa lintas kurikulum, penyajian materi
pembelajaran bahasa dalam unit-unit tematis.
Goodman (dalam Puji
Santoso 2008: 2.3) menyatakan Whole language adalah pendekatan
pembelajaran bahasa yang menyajikan bahasa secara utuh, tidak terpisah-pisah.
Para ahli Whole Language berpendapat
bahwa bahasa merupakan satu kesatuan (whole)
yang tak dapat dipisahkan, oleh sebab itu pembelajaran keterampilan berbahasa
disajikan secara utuh bermakna dan dalam situasi nyata (otentik) (Rigg dalam
Puji Santoso 2008: 2.3). Pembelajaran tentang penggunaan tanda baca seperti
koma dan sebagainya diajarkan sehubungan dengan pembelajaran menulis (Cornett,
1990:78).
Pendekatan
terpadu menyarankan agar pengajaran bahasa Indonesia didasarkan pada wawasan Whole Language, yaitu wawasan belajar
bahasa yang intinya menyarankan agar kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia
dilaksanakan terpadu antara membaca, mendengarkan, menulis, dan berbicara.
Dengan konsep itu, dalam jangka panjang, target penguasaan kemahiran wacana itu
bisa tercapai (Brown, 1997: 25).
Dipertegas
pendapat Redmond Mary Lynn (1994:428) yang menyatakan The Whole Language Approach provides a learning environment in which
the student participates in meaningful language experiences. Through the
process of constructing language for communication purposes, the student
develops the ability to listen, speak, read, and write in a natural manner.
Berdasarkan
uraian di atas dapat digambarkan bahwa pendekatan whole language membutuhkan lingkungan pembelajaran yang mana siswa
berpartisipasi dalam menyusun bahasa untuk berkomunikasi untuk maksud dan
tujuan-tujuan tertentu. Dalam pendekatan ini siswa mengembangkan kemampuan
mendengar, berbicara, membaca, dan menulis dengan cara alami.
Froese
(1990: 3) “Pemakaian pendekatan whole
language menekankan pada kebebasan guru dalam pembelajaran bahasa. Guru
akan mudah menggunakan pendekatan whole
language dalam pembelajaran bahasa
apabila bahasa yang
diajarkan digunakan
dalam aktivitas sehari-hari
sehingga komponen bahasa menjadi berarti”.
Eisele
(1991: 29-47) menyatakan bahwa prinsip-prinsip pendekatan whole language sebagai berikut:
a. Anak tumbuh dan belajar lebih
siap ketika mereka secara aktif mengajak dirinya sendiri untuk belajar.
b. Strategi dan kemahiran mereka
pada proses kompleks seperti membaca dan menulis namun harus difasilitasi
dengan baik oleh guru. Mereka perlu didukung secara psikologi.
c. Untuk membangun munculnya
kemampuan membaca dan menulis, siswa perlu mencoba untuk meniru strategi orang
tua atau guru
d. Pengajaran dengan whole language didasarkan pada
pengamatan bawa banyak hal yang dipelajari pada diri siswa, sehingga guru perlu
memberikan kesempatan dan mendorong ke
dalam proses belajar.
e. Pembelajaran dengan whole language merangsang siswa untuk
belajar secara mandiri. Tugas guru memberikan bimbingan kepada siswa.
f. Guru dan siswa bersama-sama
belajar dan mengambil resiko serta mengambil keputusan bersama dalam belajar.
g. Guru mengenalkan interaksi sosial
antara siswa, berdiskusi, berbagi ide, bekerja sama untuk menyelesaikan masalah
yang dihadapi dalam belajar.
h. Guru memberikan materi kepada
siswa berupa tes agar mampu membedakan kemampuan mana yang belum optimal serta
mendorong siswa untuk menemukan dan
mengkritik kelemahan sendiri.
i. Penilaian disatukan dengan
pembelajaran.
j. Guru membangun dan mengembangkan
jenis tingkah laku serta sikap yang diperlukan dalam kemajuan belajar siswa.
Dari
uraian di atas peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa pendekatan whole language merupakan sebuah
pendekatan di mana kompetensi-kompetensi berbahasa saling dihubungan disaat
pembelajaran berlangsung sehingga di dalam pembelajaran tersebut dapat mencapai
tujuan yang telah ditentukan dalam proses belajar mengajar di sekolah secara
optimal.
a.
Komponen
Whole Language
Teuku Alamsyah (2007: 14-17)
menjelaskan bahwa ada delapan
komponen whole language, yaitu: (1) reading aloud, (2) journal writing, (3) sustained
silent reading, (4) shared reading,
(5) guided writing, (6) guided reading, (7) independent reading, dan (8) independent
writing.
1) Reading
Aloud
(membaca bersuara)
Reading
aloud adalah kegiatan membaca yang dilakukan oleh guru
untuk siswanya. Guru dapat menggunakan bacaan yang terdapat dalam buku teks
atau buku cerita. Guru membacakan cerita dengan suara nyaring dan intonasi yang
baik sehingga setiap siswa dapat mendengarkan dan menikmati ceritanya. Kegiatan ini akan sangat bermakna terutama jika
diterapkan dikelas rendah.
Di sisi lain,
dengan pembelajaran reading aloud, guru dapat memberikan contoh membaca
yang baik pada siswanya. Pada kelas yang pembelajarannya menerapkan whole language, reading aloud dapat
dilakukan setiap hari saat memulai pembelajaran. Guru hanya menggunakan
beberapa menit saja (10 menit) untuk membacakan cerita. Kegiatan
ini juga dapat membantu guru untuk memotivasi siswa memasuki suasana belajar.
2) Jurnal
Writing
Journal writing atau
menulis jurnal merupakan sarana yang aman bagi siswa untuk mengungkapkan
perasaannya, menceritakan kejadian di sekitanya, mengutarakan hasil belajarnya,
dan menggunakan bahasa dalam bentuk tulisan. Pada dasarnya anak-anak dari
berbagai macam latar belakang memiliki banyak cerita. Namun, umumnya mereka
tidak sadar bahwa mereka mempunyai cerita yang menarik untuk diungkapkan.
Tugas guru adalah mendorong siswa agar
mau mengungkapkan cerita yang dimilikinya. Menulis jurnal bukanlah tugas yang
harus dinilai, tetapi guru berkewajiban untuk membaca jurnal yang ditulis anak
dan memberikan komentar atau respon terhadap cerita tersebut sehingga ada
dialog antara guru dan siswa.
Manfaat jurnal writing
1)
Meningkatkan
kemampuan menulis. Dengan menulis
jurnal, siswa akan terbiasa mengungkapkan
pikirannya dalam bentuk tulisan
dan ini berarti pula membantu mengembangkan kemampuan siswa dalam menulis,
2)
Meningkatkan
kemampuan membaca. Secara spontan
siswa akan membaca hasil tulisannya sendiri
setiap ia selesai menulis jurnal. Dengan
cara ini tanpa disadari siswa juga
melatih kemampuan membacanya. Dengan demikian,
menulis jurnal dapat meningkatkan kemampuan
membaca siswa.
3)
Menumbuhkan
keberanian menghadapi risiko. Karena menulis jurnal bukanlah kegiatan yang
harus dinilai, siswa tidak perlu takut terhadap kesalahan dalam menulis.
Kegiatan menulis ini sekaligus dapat digunakan sebagai sarana bereksplorasi,
4)
Memberi
kesempatan untuk membuat refleksi. Melalui jurnal siswa dapat merefleksi semua
yang telah dipelajarinya atau dilakukannya,
5)
Memfalidasi
pengalaman dan perasaan pribadi. Siswa dapat menulis apa saja pengalaman yang
dialaminya, baik pengalaman di sekolah maupun pengalaman di luar sekolah. Semua
pengalaman itu dapat diungkapkanya melalui tulisan dalam jurnal,
6)
Memberikan
tempat yang aman dan rahasia untuk menulis. Bagi siswa, terutama siswa kelas
tinggi, jurnal adalah sarana untuk mengungkapkan perasaan pribadi. Jurnal ini
sering juga disebut diary atau buku harian. Untuk jurnal jenis ini,
siswa boleh memilih apakah guru boleh membaca jurnalnya atau tidak,
7)
Meningkatkan
kemampuan berpikir. Dengan meminta siswa menulis jurnal, berarti melatih mereka
malakukan proses berpikir, mereka berusaha mengingat kembali, memilih kejadian
mana yang akan diceritakan, dan menyusun informasi yang dimiliki menjadi cerita
yang dapat dipahami pembaca. Dengan membaca jurnal, guru mengetahui kejadian
atau materi mana yang berkesan dan dipahami siswa dan mana bagian yang
membuatnya bingung,
8)
Meningkatkan
kesadaran akan peraturan menulis. Melalui menulis jurnal, siswa belajar tata
cara menulis seperti pengunaan huruf besar, tanda baca, dan struktur kalimat
(tata bahasa). Siswa juga mulai menulis dengan menggunakan topik, judul,
halaman, dan subtopik. Mereka juga menggunakan bentuk tulisan yang berbeda
seperti dialog (percakapan), dan cerita bersambung. Semua ini diajarkan tidak
secara formal.
9)
Menjadi
alat evaluasi. Siswa dapat melihat kembali jurnal yang ditulisnya dan menilai
sendiri kemampuan menulisnya. Mereka dapat melihat komentar atau respon guru
atas kemajuannya. Guru dapat menggunakan jurnal sebagai sarana untuk menilai
kemampuan berbahasa anak di samping juga penguasaan materi dan gaya penulisan,
10)
Menjadi
dokumen tertulis. Jurnal writing dapat digunakan siswa
sebagai dokumen tertulis mengenai perkembangan hidup atau pribadinya. Setelah
dewasa, mereka dapat melihat kembali hal-hal yang pernah mereka anggap penting
pada waktu dulu.
Uraian di atas
mengimplikasikan besarnya pengaruh dan manfaat menulis jurnal jika diterapkan
di dalam kelas. Memang hal ini terlihat berat bagi guru yang mempunyai kelas
besar. Dapat dibayangkan betapa repotnya jika guru setiap hari harus memberi
komentar atau respon terhadap setiap jurnal yang ditulis oleh siswa. Namun,
guru dapat menyiasati sendiri, bagaimana yang terbaik ketika menerapkan
kegiatan ini. Bisa saja misalnya, tidak setiap hari guru memberi komentar atau
respon pada setiap anak. Guru dapat membagi siswa dalam kelompok dan dapat
memberi komentar atau respon perkelompok secara bergantian. Dengan demikian,
guru tidak perlu menghabiskan waktu untuk merespon jurnal siswa. Ini adalah
satu untuk contoh membagi waktu dalam memberi respon. Guru
sendiri dapat mencari alternatif lain yang dirasa terbaik diterapkan pada
situasi dan kondisi sekolahnya.
3) SSR (Sustained Silent Reading )
Sustained
Silent Reading (SSR).
SSR adalah kegiatan membaca dalam hati yang dilakukan oleh siswa. Dalam
kegiatan ini siswa diberi kesempatan untuk memilih sendiri buku atau materi
yang akan dibacanya. Biarkan siswa memilih bacaan yang sesuai dengan
kemampuannya sehingga mereka dapat menyelesaikan membaca bacaan tersebut. Oleh
karena itu, guru sedapat mungkin menyediakan bahan bacaan yang menarik dari
berbagai buku atau sumber sehingga memungkinkan siswa memilih materi bacaan.
Guru
dapat memberikan contoh sikap membaca dalam hati yang baik sehingga mereka
dapat meningkatkan kemampuan membaca dalam hati untuk waktu yang cukup lama.
Pesan yang ingin disampaikan kepada siswa melalui kegiatan ini adalah sebagai
berikut:
a)
membaca adalah kegiatan penting yang
menyenangkan;
b)
membaca dapat dilakukan oleh siapapun;
c)
membaca
berarti berkomunikasi dengan pengarang buku tersebut;
d)
siswa
dapat membaca dan berkonsentrasi pada bacaannya dalam waktu yang cukup lama;
e)
guru
percaya bahwa siswa memahami apa yang mereka baca;
f)
siswa
dapat berbagi pengetahuan yang menarik dari materi yang dibacanya setelah kegiatan
SSR berakhir.
4) Shared
Reading
Shared reading ini
adalah kegiatan membaca bersama antara guru dan siswa, di mana setiap orang
mempunyai buku yang sedang dibacanya. Kegiatan ini dapat dilakukan baik di kelas rendah maupun di kelas tinggi.
Ada beberapa cara melakukan hal ini. Cara-cara yang dimaksud adalah sebagai
berikut.
a)
Guru
membaca dan siswa mengikutinya (untuk kelas rendah);
b)
Guru
membaca dan siswa menyimak sambil melihat bacaan yang tertera pada buku;
c)
Siswa
membaca bergiliran.
Maksud
kegiatan ini adalah
1.
Sambil
melihat tulisan, siswa berkesempatan untuk memperhatikan guru membacasebagai
model;
2.
Memberikan
kesempatan untuk memperlihatkan ketrampilan membacanya;
3.
Siswa
yang masih kurang terampil dalam membaca mendapat contoh membaca yang benar.
Ketika
membahas suatu topik, guru meminta siswa membuka buku paket yang membahas topik
tersebut, kemudian siswa diminta membaca keras secara bergantian. Dalam hal ini guru telah melakukan shared
reading. Sebaiknya guru meneruskan kegiatan ini dengan melibatkan
keterampilan lain seperti berbicara dan menulis agar kegiatannya menjadi
kegiatan yang utuh dan riil.
5) Guided
Reading
Guided reading tidak seperti pada shared
reading, guru lebih berperan sebagai model dalam membaca. Dalam guided
reading atau disebut juga membaca terbimbing guru menjadi pengamat
dan fasilitator. Dalam membaca terbimbing penekanannya bukan dalam
cara membaca itu sendiri, melainkan lebih pada membaca pemahaman.
Dalam guided reading semua siswa membaca dan mendiskusikan buku
yang sama. Guru melemparkan pertanyaan yang meminta siswa
menjawab dengan kritis, bukan sekadar pertanyaan pemahaman. Kegiatan ini
merupakan kegiatan membaca yang penting dilakukan dikelas.
6) Guided
Writing
Guided writing atau
menulis terbimbing. Seperti dalam membaca terbimbing, dalam menulis terbimbing
peran guru adalah sebagai fasilitator, yaitu membantu siswa menemukan hal yang
ingin ditulisnya dengan jelas, sistematis, dan menarik. Guru bertindak sebagai
pendorong bukan pengatur, sebagai pemberi saran bukan pemberi petunjuk. Dalam
kegiatan ini proses writing dalam memilih topik, membuat draf,
memperbaiki, dan mengedit dilakukan sendiri oleh siswa.
7) Independent
Reading
Independent reading atau
membaca bebas adalah kegiatan membaca yang memberikan kesempatan kepada siswa
untuk menentukan sendiri materi yang ingin dibacanya. Membaca bebas merupakan
bagian integral dari whole language. Dalam independent reading siswa
bertanggung jawab terhadap bacaan yang dipilihnya sehingga peran guru pun
berubah dari seorang pemrakarsa, model, dan pemberi tuntunan menjadi seorang
pengamat, fasilitator, dan pemberi respon.
Menurut penelitian yang dilakukan Anderson dkk. (1988),
membaca bebas yang diberikan secara rutin walaupun hanya 10 menit sehari dapat
meningkatkan kemampuan membaca para siswa. Jika menerapkan independent reading,
Guru sebaiknya menyiapkan bacaan yang diperlukan untuk siswanya. Bacaan
tersebut dapat berupa fiksi atau nonfiksi. Pada awal percakapan independent
reading, guru dapat membantu siswa memilih buku yang akan dibacanya dengan
memperkenalkan buku-buku tersebut, misalnya guru membacakan sinopsis atau
ringkasan buku yang terdapat pada halaman sampul. Jika guru pernah membaca buku
tersebut, guru dapat menceritakannya sedikit tentang isi buku. Dengan
mengetahui sekelumit tentang cerita, siswa akan termotovasi untuk memilih buku
dan membacanya sendiri. Demikian juga ketika guru mempunyai buku baru,
sebaiknya buku tersebut diperkenalkan agar siswa dapat mempertimbangkan untuk
membaca atau tidak. Dalam memperkenalkan buku, guru sebaiknya juga membahas
masalah pengarang dan ilustrator yang biasanya tertulis di halaman akhir. Jika
tidak ada keterangan tertulis tentang pengarang atau illustrator, guru paling
tidak menyebutkan nama-nama mereka atau menambahkan sedikit informasi yang
diketahuinya. Hal ini penting dilakukan agar siswa sadar bahwa sesungguhnya
buku itu ditulis oleh manusia bukan mesin.
Buku yang dibaca siswa untuk independent
reading tidak selalu harus didapat dari perpustakaan sekolah, kelas,
atau dipersiapkan oleh guru. Siswa boleh saja memperoleh buku dari berbagai
sumber seperti perpustakaan kota/kabupaten, buku-buku yang ada di rumah, di
toko buku, meminjam kepada teman, atau dari sumber lain. Inti dari independent
reading adalah membantu siswa meningkatkan pemahamannya, mengembangkan
kosakata, melancarkan membaca, dan secara keseluruhan memfasilitasi membaca.
8) Independent
writing
Independent writing atau
menulis bebas bertujuan untuk meningkatkan kemampuan menulis, meningkatkan
kebiasaan menulis, dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis dalam menulis.
Dalam menulis bebas siswa mempunyai kesempatan untuk menulis tanpa ada
interfensi dari guru. Siswa bertanggung jawab sepenuhnya dalam proses menulis.
Jenis menulis yang termasuk dalam independent writing antara lain
menulis jurnal, dan menulis respon. Jika akan menerapkan pendekatan ini, Anda
mulailah perlahan-lahan. Jangan mencoba menerapkan semua komponen sekaligus
karena akan membingungkan siswa. Cobalah dengan satu komponen dulu dan
perhatikan hasilnya. Jika siswa telah terbiasa menggunakan komponen tersebut,
baru kemudian dicoba diterapkan komponen yang lain.
Dari uraian di atas
dapat disimpulan bahwa komponen whole
language ada delapan, dari kedelapan komponen tersebut di dalam
pembelajaran saling berhubungan dan saling mendukung. Kedelapan komponen
tersebut yaitu: (1) reading aloud,
(2) journal writing, (3) sustained silent reading, (4) shared reading, (5) guided writing, (6) guided
reading, (7) independent reading,
dan (8) independent writing.
b.
Kelemahan
dan Kelebihan Pendekatan Whole Language
1) Kelemahan Pendekatan Whole Language
a)
Perubahan
menjadi kelas whole language memerlukan waktu yang cukup lama karena
perubahan harus dilakukan dengan hati-hati dan perlahan agar menghasilkan kelas
whole language yang diinginkan (Anderson 2007:21).
b)
Dalam
penerapan whole language guru harus
memahami dulu komponen-komponen whole
language agar pembelajaran dapat dilakukan secara maksimal (Puji Santoso.
2008:2.16).
2) Kelebihan Pendekatan Whole Language
a)
Pengajaran keterampilan berbahasa dan
komponen bahasa seperti tata bahasa dan kosakata disajikan secara utuh bermakna
dan dalam situasi nyata atau otentik (Rigg dalam Puji Santoso 2008: 2.3).
b)
Dalam kelas whole language siswa berperan aktif dalam pembelajaran. Guru tidak
perlu berdiri lagi di depan kelas menyampaikan materi. Sebagai fasilitator,
guru berkeliling kelas mengamati dan mencatat kegiatan siswa. Dalam hal ini
guru menilai siswa secara informal (Teuku Alamsyah.2007:23).
c)
Pendekatan whole language secara
spesifik mengarah pada pembelajaran bahasa Indonesia . Namun, tidak tertutup kemungkinan
untuk diterapkan dalam pembelajaran pelajaran-pelajaran yang
lain, semisal IPS, karena pada dasarnya setiap mata pelajaran memiliki
keterkaitan dan saling melengkapi (Teuku Alamsyah 2007:13)
c.
Ciri-Ciri
kelas Whole Language
Teuku Alamsyah (2007:21-22)
mendeskripsikan ada tujuh ciri yang menandakan kelas whole language. Tujuh ciri-ciri whole language, yaitu
sebagai berikut:
a)
Pertama, kelas yang menerapkan whole
language penuh dengan barang cetakan. Barang-barang tersebut kabinet dan
sudut belajar. Poster hasil kerja siswa menghiasi dinding dan bulletin
board. Karya tulis siswa dan chart yang dibuat siswa menggantikan bulletin
board yang dibuat oleh guru. Salah satu sudut kelas diubah menjadi
perpustakan yang dilengkapi berbagai jenis buku (tidak hanya buku teks),
majalah, koran, kamus, buku pentunjuk dan berbagai barang cetak lainnya. Semua
ini disusun dengan rapi berdasarkan pengarang atau jenisnya sehingga memudahkan
siswa memilih. Walaupun hanya satu sudut yang dijadikan perpustakaan, tetapi
buku tersedia di seluruh ruang kelas.
b)
Kedua, di kelas whole language siswa
belajar melalui model atau contoh. Guru dan siswa bersama-sama melakukan
kegiatan membaca, menulis, menyimak, dan berbicara. Over head projector (OHP)
dan transparasi digunakan untuk untuk memperagakan proses menulis. Siswa
mendengarkan cerita melalui tape recorder untuk mendapatkan contoh
membaca yang benar.
c)
Ketiga, di kelas whole language siswa
bekerja dan belajar sesuai dengan tingkat perkembangannya. Agar siswa dapat
belajar sesuai dengan tingkat perkembangannya, di kelas harus tersedia buku dan
materi yang menunjang. Buku disusun berdasarkan tingkat kemampuan membaca siswa
sehingga siswa dapat memilih buku yang sesuai untuknya. Di kelas juga tersedia
meja besar yang dapat digunakan siswa untuk menulis, melakukan editing dengan
temannya, atau membuat cover untuk buku yang ditulisnya. Langkah-langkah
proses menulis tertempel di dinding sehingga siswa dapat melihatnya setiap
saat.
d)
Keempat, di kelas whole language siswa
berbagi tanggung jawab dalam pembelajaran. Peran guru di kelas whole
language hanya sebagai fasilitator dan siswa mengambil alih beberapa
tanggung jawab yang biasanya dilakukan oleh guru. Siswa membuat kumpulan kata (word
bank), melakukan brainstorming, dan mengumpulkan fakta. Pekerjaan
siswa ditulis pada chart, dan terpampang di seluruh ruangan. Siswa
menjaga kebersihan dan kerapian kelas. Buku perpustakaan dipinjam dan
dikembalikan oleh siswa tanpa bantuan guru. Buku bacaan atau majalah dibawa
oleh siswa dari rumah. Pada salah satu bulletin board terpampang
pembagian tugas untuk setiap siswa. Siswa
bekerja dan bergerak bebas di kelas.
e)
Kelima,
di kelas whole language siswa terlibat secara aktif dalam pembelajaran
bermakna. Siswa secara aktif terlibat dalam kegiatan pembelajaran yang membantu
mengembangkan rasa tanggung jawab dan tidak tergantung. Siswa terlibat dalam
kegiatan kelompok kecil atau kegiatan individual. Ada kelompok yang membuat
pelajaran sejarah. Siswa lain secara individual menulis respon terhadap buku
yang dibacanya, membuat buku, menuliskan
kembali cerita rakyat, atau mengedit draft final. Guru terlibat dalam
konferensi dengan siswa atau berkeliling ruangan mengamati siswa, berinteraksi
dengan siswa atau membuat catatan tentang kegiatan siswa.
f) Keenam, di kelas whole language siswa berani
mengambil risiko dan bebas bereksperimen. Guru di kelas whole language menyediakan
kegiatan belajar dalam berbagai kemampuan sehingga semua siswa dapat berhasil.
Hasil tulisan siswa dipajang tanpa ada tanda koreksi. Contoh hasil kerja setiap
siswa terpampang di seputar ruang kelas. Siswa dipacu untuk melakukan yang
terbaik. Namun, guru tidak mengharapkan kesempurnaan. Yang penting adalah
respon atau jawaban yang diberikan siswa dapat diterima. Ketujuh, di kelas whole
language mendapat balikan (feed back) positif baik dari guru maupun
temannya. Ciri kelas whole language adalah pemberian feed
back dengan segera. Meja ditata berkelompok agar memungkinkan siswa
berdiskusi, berkolaborasi, dan melakukan konferensi. Konferensi antara guru dan
siswa memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan penilaian diri dan melihat
perkembangan diri. Siswa yang mempresentasikan hasil tulisannya mendapatkan
respon positif dari temannya. Hal
ini dapat membangkitkan rasa percaya diri.
g) Ketujuh siswa berperan aktif dalam pembelajaran. Guru
tidak perlu berdiri lagi di depan kelas menyampaikan materi. Sebagai
fasilitator, guru berkeliling kelas mengamati dan mencatat kegiatan siswa.
Dalam hal ini guru menilai siswa secara
informal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar